Ad Code

Responsive Advertisement

Islam Tak Akan Zalim: Membuka Ulang Luka Amuntai dan Pengingat pejuang Islam Bernegara

 

Oleh: Nunu A. Hamijaya
Sejarawan publik 


Pada tahun 1953, di sebuah kota kecil bernama Amuntai, Presiden Soekarno berdiri di tengah lautan rakyat Muslim yang antusias menyambutnya. Namun alih-alih membawa harapan, Bung Karno justru menorehkan luka yang membekas dalam sejarah politik umat Islam Indonesia.

Dalam pidatonya, Soekarno berkata

“Jika negara kita menjadi negara Islam, maka Maluku, Bali, Flores, Timor, dan beberapa daerah lain yang non-Muslim akan memisahkan diri dari Republik. Maka negara kita haruslah negara nasional, bukan negara Islam.”

Pernyataan ini bukan sekadar penolakan atas ide negara Islam, tapi lebih dari itu: sebuah vonis sepihak bahwa Islam, agama mayoritas rakyat Indonesia , dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan. Padahal sejarah dan akal sehat politik menunjukkan, justru nilai-nilai Islam-lah yang telah menyatukan bangsa ini sejak awal.

Maka tak heran, gelombang reaksi beruntun pun datang dari berbagai ormas dan tokoh Islam:

1. KH. Wahid Hasyim dari PBNU menyebut pernyataan Soekarno sebagai perbuatan mungkar.

2. Kyai Sirajuddin Abbas dari Perti menuding pidato tersebut sebagai adu domba yang menggelisahkan umat.

3. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) menegaskan bahwa Soekarno menanam benih separatisme, bukan umat Islam.

4. M. Isa Anshari dari Masyumi menyebut pidato Bung Karno tidak demokratis dan bertentangan dengan aspirasi umat.

Lebih dari sekadar pidato, apa yang terjadi di Amuntai adalah titik balik: di mana umat Islam tersadar, bahwa perjuangan politik mereka tidak akan diberi tempat jika tidak disuarakan secara tegas.

Islam dan Negara: Bukan Ancaman 

Pertanyaan besar umat sejak Amuntai adalah:

“Mengapa Islam, yang menjadi napas mayoritas rakyat negeri ini, justru dicurigai sebagai sumber perpecahan?”

Bukankah keadilan sosial, persaudaraan universal, dan kedaulatan rakyat telah menjadi prinsip ajaran Islam jauh sebelum kemerdekaan Indonesia dicetuskan?

Islam tidak akan zalim. Justru Islam datang untuk menegakkan keadilan. Menolak Islam dijadikan dasar negara, dengan alasan ketakutan akan perpecahan, adalah sebuah pengingkaran terhadap sejarah dan nalar.

Padahal dalam sejarah Islam, umat Yahudi dan Kristen hidup damai di bawah kekuasaan Islam selama ratusan tahun, dari Madinah, Damaskus, Andalusia, hingga Istanbul. Maka mengapa kita ragu Islam bisa adil di bumi Indonesia?


KH. Wahid Hasyim dan Fatwa Politik untuk Negeri

Dalam pusaran debat itu, KH. Wahid Hasyim, tokoh Nahdlatul Ulama yang dikenal bijak, mengirimkan surat terbuka kepada Bung Karno, menyatakan bahwa pidato tersebut adalah pernyataan yang tidak dibenarkan oleh syariat, dan setiap Muslim wajib menyatakan penolakan.

Beliau bahkan termasuk tokoh yang mengusulkan agar Presiden Indonesia harus seorang Muslim, bukan untuk mengecualikan golongan lain, tetapi karena itulah wujud keadilan bagi mayoritas rakyat Muslim yang ingin pemimpinnya menjalankan amanah dengan nilai-nilai yang mereka yakini.

Tragisnya, dua bulan setelah surat itu dikirim, KH. Wahid Hasyim wafat dalam kecelakaan misterius di Cimahi. Sebuah takdir yang masih memunculkan tanya dalam benak umat: apakah suara keras itu sengaja dibungkam?


NU: Ketika Dulu Menjadi Garda, Kini Menjadi Tanda Tanya

Dulu, NU berdiri gagah bersama umat. Menandatangani Piagam Jakarta. Menjadi bagian dari Konstituante. Mengusulkan syariat sebagai dasar hukum. Tapi kini, banyak umat mulai bertanya-tanya: apakah NU masih satu barisan dengan cita-cita itu?

Perubahan besar itu tampak di era Gus Dur. Dalam kepemimpinannya, NU mulai meninggalkan perjuangan syariat, dan lebih condong kepada pluralisme ala Barat, demokrasi liberal, dan toleransi tanpa batas.


Gus Dur bahkan pernah berkata:

 “Kalau perlu, saya bubarkan saja MUI.”

Pernyataan ini bukan sekadar satire. Tapi sinyal bahwa perjuangan nilai-nilai Islam dianggap mengganggu sistem sekuler yang ingin dijaga.


Arah Baru Umat: Menegaskan 

Tulisan ini bukan ajakan untuk nostalgia. Bukan pula sentimen terhadap siapapun. Ini adalah seruan untuk menyadarkan kembali umat Islam, bahwa ketika Islam diperjuangkan sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan pemecah belah yang akan lahir, tapi keadilan dan harmoni.


Negara Islam bukan ancaman. Ia adalah solusi.

Islam bukan sumber perpecahan. Ia adalah tali pemersatu.

Yang menolak Islam-lah justru yang menanam bibit-bibit retakan dalam tubuh bangsa.


Menyongsong Gelombang Ketiga Politik Islam

Kini saatnya umat Islam Indonesia bangkit kembali. Bukan untuk marah, tapi untuk menuntut keadilan. Bukan untuk memusuhi siapapun, tapi untuk memperjuangkan haknya.

Sejarah 1953 harus jadi pelajaran. Jangan sampai Islam kembali dianggap musuh hanya karena ada yang takut dengan cahaya keadilannya.

Dan kepada para nahdliyyin, para pewaris perjuangan KH. Wahid Hasyim

Bukalah kembali sejarahmu. Ingatlah fatwa-fatwa perjuanganmu. Dan jangan biarkan Islam hanya dipanggil di mimbar, tapi ditolak dalam Undang-Undang.

Karena ketika Islam tegak dalam pemerintahan, tak akan ada yang dizalimi. Yang ada hanyalah bangsa yang damai dalam tuntunan wahyu, dan rakyat yang sejahtera di bawah naungan keadilan Ilahi....


Post a Comment

0 Comments